DAFTAR
ISI
A.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang……………………………………………………………….
Rumusan
Masalah……………………………………………………………
.
Tujuan
Penulis……………………………………………………………….
B.
PEMERINTAHAN LOKAL
Bentuk
Pemerintahan Lokal………………………………………………….
Asas-Asas
Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal…………………………..
C.
POLITIK
HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Hukum
(perda) sebagai Produk Politik………………………………………
D.
LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
Legislasi
Perda…………………………………………………………………
Dasar-dasar
dalam Legislasi…………………………………………………..
Efektivitas
Legislasi……………………………………………………………
E.
KESIMPULAN
F.
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan
bangsa ini, bahkan pada masa pemerintahan colonial belanda sudah dilakukan.
Perlunya
system otonomi daerah didasari oleh para pendiri Negara republic indonesia
ketika menyusun UUD 1945, mengingat letak geografis dan kondisi sosiologis
masyarakat indonesia yang terbesar diberbagai pulau dan terdiri atas berbagai
suku, agama, ras, serta golongan.
Substansi
perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian
dengan adanya perda tersebut tidak menghambat investasi ke daerah. Maka
pentingnya melakukan evaluasi perda adalah untuk mengetahui segala
kekurangannya. Sebab dampak negative dari perda dapat berimplikasi pada
menurunnya minat investor yang hendak menanamkan modal ke daerah-daerah baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Pengertian
politik hukum sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara
resmi oleh Negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan
diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
Di
dalam pengertian sederhana tersebut, hukum ditempatkan sebagai alat untuk
mencapai tujuan Negara sebagai pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama
oleh Negara harus dijadikan langkah untuk mencapai tujuan Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
peran politik hukum sebagai konstruksi
awal dalam proses pembuatan peraturab daerah ?
2. Bagaimana
menciptakan legislasi perda yang memenuhi asa dalam Negara kesatuan ?
3. Apakah
legislasi perda sudah dinyatakan efektif dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
ini bertujuan sebagai pemenuhan kewajiban atas tugas perorangan yang diberikan
dalam mata kuliah Proses Legislasi di Indonesia. Dan dapat menjadikan suatu
perhatian dan penambah wawasan dalam menggali suatu peran politik hukum dalam
perda.
BAB
II
PEMERINTAH
LOKAL
A. Bentuk Pemerintahan Lokal
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan
garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintah local di Indonesia.
Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri serta pengakuan
kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk
kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari
pinsip Negara kesatuan republic indonesia.
Hal
ini berarti setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintah
local ditekankan pada otonomi daerah.
Dalam
hasanah teori hukum tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan
pemerintahan ditingkat local. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah :
Pemerintahan
local administrative, yakni satuan-satuan pemerintahan local dibawah
pemerintaha pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintaha
pusat diwilayah-wilayah Negara. Satuan pemerintah local seperti ini pada
hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Pemerintah lokal otonomi yakni satuan-satuan pemerintah
local yang berada dibawah pemerintahan pusat yang berhak dan berwenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.
Kedua
bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut diatas (administrative dan
otonomi) pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini
Nampak jelas ketika politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di
Indonesia mempergunakan UU No.5 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintahan di
daerah. Didalam UU ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat
pemerintahan daerah otonomi dan wilayah administrasi.
Menurut
undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah setelah reformasi 1998
dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut sudah dipisahkan secara
tegas. Baik UU No.22 tahub 1999 maupun undang-undang no.32 tahun 2004
menegaskan bahwa pemerintahan local otonomi hanya dilaksanakan dikabupaten dan
kota. Sedangkan untuk penyelengaraan pemerintahan local administrative dan
otonomi dilaksanakan secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini
dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Sedangkan
menuruk UU no.32 tahun 2004 nampak dari ketentuan pasal 32 ayat (1) yang
menyatakan bahwa gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah diwilayah provinsi yang bersangkutan.
B. Asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan local
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintah local dikenal adanya 4 asa penyelengaraan
yaitu :
a. Asas
sentralisasi
Yaitu
suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal adanya penyerahan
wewenang atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah atau wilayah)
Negara. Semua kewenangan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun local berada ditangan
pemerintah pusat, kalau pun ada kewenangan yang berada dipemerintah local, hal
itu semata-mata hanya menjalankan pemerintah dari pemerintah pusat. Pemerintah
local termasuk pejabat-pejabatnya di tingkat local hanya melaksanakan kehendak
atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau
perkara dari pemerintah local.
b. Asas
Desentralisasi
Asaa
ini menghendaki dalam penyelenggara pemerintah, ada sebagian wewenang atau
urusan pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah local
untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Menurut
pasal 1 angka 7 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada
pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam system Negara kesatuan republic indonesia.
c. Asas
Dekonsentrasi
Asas
dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas
sentralisasi. Dikatakan demikian, karena didalam penyelenggaraannya peran dan
kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas
(prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintah di tingkat
daerah.
Dalam
pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya
di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat.
d. Asas
Medebewind
Merupakan
bentuk desentralisasi atau otonomi tidak
penuh. Asas ini diperlukan untuk sarana uji coba kes iapan bagi pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan pemerintah sendiri.
BAB
III
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
A.
Hukum
(perda) sebagai produk politik
Negara republic Indonesia merupakan
satu-satunya negara yang berbentuk kepulauan yang di dalamnya terkandung aspek
ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Keseluruhan aspek itu haus disatukan secara intensif demi menegah terjadinya
disintegrasi daerah.
Negara-negara yang berdiri khas
demokrasi konstitusional, undang-undang memiliki fungsi membatasi kekuasaan
pemerintah sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.
Dengan demikian, hak-hak warga lebih terlindungi.
Oleh sebab itu perubahan yang terjadi
dalam kebijakan peraturan daerah tidak semata-mata mengekor dinamika
pembangunan dan pengembangan suatu daerah tetapi juga mangatur serta membatasi
ruang gerak pemerintah daerah agar tidak melakukan tindakan semena-mena kepada
rakyat.
Berdasarkan hal diatas, maka diperlukan
politik hukum yang baik pengertian politik hukum adalah arah kebijakan (legal
policy) yang dibuat resmi oleh Negara, mengenai hukum apakah yang akan
diperlukan untuk mencapai tujuan Negara. Dalam arti sempit, hukum sebagai alat
untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan hukum bau atau pencabutan hukum
lama oleh Negara harus dijadikan langkah unruk mencapai tujuan Negara.
Politik hukum sangat erat kaitannya
dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat, maka
politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada
masyarakat daerah.
Maka politik hukum di daerah harus terwujud dalam
seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam
pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat di daerah.
BAB
IV
LEGISLASI
DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
A.
Legislasi
Perda
UUD NKRI 1945 menunjukkan bahwa,
indonesia merupakan suatu Negara kesatuan, pluralitas kondisi local baik
ditinjau dari adat-istiadat, kapasitas pemerintahan daerah, suasana demokrasi
local, dan latar belakang pembentukan daerah masing-masing mengharuskan
ditetapkannya kebajikan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan politik untuk memberikan otonomi
yang lebih luas kepada daerah telah memberikan perubahan yang signivikan
terhadap system pemerintahan indonesia pada umumnya dan khususnya pemerintahan
daerah.
Desentralisasi dalam teori dan
praktiknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat daerah
di dalam proses perencanaan dalam pengambilan keputusan, terutama terhadap
kepentingan masyarakat daerah. Adakalanya, makna desentralisasi menjadi alas an
kokoh dalam menbentuk suatu perda yang tidak memenuhi rasa keadilan di dalam
masuyarakat (tidak ideal) sedangkan tujuan pemberian otonomi daerah adalah
untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislative daerah, memperdayakan,
menumbuhkan prakarsam kreatifitas masyarakat.
Apabila terdapat perbedaan antara
sentralisasi dan desentralisasi yang diungkapkan dalam Negara kesatuan, maka
perbedaan ini dapat disajikan semata dari sudut pandang lingkup wilayah
keabsahaan norma-norma yang membentuk tatanan hukum nasional.
Menurut hans kelsen, desentralisasi
murni terjadi jika tidak adanya norma-norma yang berlaku untuk seluruh wilayah
tidak adanya norma positif yang berlaku untuk seluruh wilayah, namun terdapat
grund norm yang dicita-citakan berlaku untuk seluruh wilayah.
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 136
UU No.32 tahun 2004, bahwa perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah provinsi/kabupatn/kota dan tugas pembantuan. Tahapan perencanaan
pembentukan perda dimulai dengan program legislasi daerah (Prolegda) yang
bertujuan mendisain perda secara terencana, bertahap, terarah dan terpadu.
Program pembangunan peraturan
perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena perubahan terhadap
undang-undang tentang pemerintah daerah dan berbagai peraturan perundangan
lainnya serta dinamika masyarakat dan pembangunan daerah menuntut pula adanya
penataan system hukum dan kerangka hukum yang melandasinya.
B.
Dasar-dasar
dalam Legislasi
a. Politik
dalam Legislasi
Teori politik modern terbagi atas teori
demokrasi elitis dan teori demokrasi pertisipatif. Menurut pandangan teori
demokrasi elitis, suatu masyarakat dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang
impersonal.
Penekanan utama ilmuan Harold Lasswell
yaitu adanya fungsi manipulative dan kemampuan para elit. Pandangan teori
demokrasi elitis, berbeda dengan pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa
keberadaan suatu masyarakat demokrasi tergantung pada consensus sosial dengan
pandangan pada perkembangan manusia yang didasarkan atas kebebasan, persamaan,
dan partisipasi politik.
Untuk memahami demokrasi, tidak cukup
hanya menyimak teks-teks normative yang tertera dalam peraturan
perundang-undangan saja melainkan harus berorientasi pada fakta. Ilmu hukum
tidak pernah menjadi ilmu sosial murni karena hukum dapat berasal sollen sein
dan sein sollen. Pada prinsipnya, hukum selalu mengandung aspek cita dan
realita.
b. Konfigurasi
Politik Hukum
secara konseptual, konfigurasi politik
yang berlaku dan dianut oleh suatu negaradapat ditelaah secara dikotomis yaitu
konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter.
Pada Negara demokratis, proses legislasi
mengarah pada konfigurasi politik demokratis yaitu suatu susuna kekuatan
politik yang membuka peluan bagi potensi rakyat secara maksimal untuk
berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Negara. Adanya interaksi politik
dalam ranah legislasi selalu menimbulkan pertentangan individual. Proses
legislasi unruk menjadikan hukum positif, faktanya merupakan proses yang sarat
dengan berbagai muatan, nilai dan kepentingan para actor.
c. Kearifan
Lokal dalam suatu Perda
Inti permasalahan dari proses legislasi
suatu perda yaitu tidak mengikutsertakan peran serta masyarakat dalam membentuk
peraturan tersebut. Dalam kaitan ini, manusia adalah komponen makhluk hidup
yang paling sentral dan kursial, karena manusia adalah bagian dari unsure
makhluk hidup yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang
lain. Cermin dari kearifan lingkungan masyarakat secara konkrit terkristalisasi
dalam produk hukum masyarakat.
C.
Efektifitas
Legislasi
Terdapat beberapa perubahan dalam proses
legislasi ddi parlemen sebagai konsekuensi dai amandemen UUD serta lahirnya
beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses legislasi.
Dapat dijelaskan dengan keberadaan DPD yang bertujuan untuk lebih mengakomodasi
kepentingan daerah di parlemen. Kehadiran DPD telah mengubah pola proses
legislasi yang selama ini didominasi oleh Dewan Perwakilan rakyat dan
pemerintah.
Istilah legislasi berasal dari bahasa
inggris (Legislation). Dalam khasanah ilmu hukum legislasi mengandung makna
dikotomi yang memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum.
Legislasi dapat juga diartika sebagai pembuatan undang-undang.
Legislasi sebagai asumsi dasar
melahirkan hukum positif akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi
politik tertentu yang berinteraksi dalam proses legislasi tersebut. Secara
konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negara dapat
ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi
politik otoriter.
Jika konfigurasi politik yang dianut
oleh suatu Negara demokratis, maka dalam proses legislasinya akan demokratis
karena komfigurasi partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di
dalam masyarakat. Sedangkan komfigurasi politik yang dianut Negara otoriter,
maka peranan dan partisipasimasyarakat dalam proses legislasi relative kecil
karena proses legislasi identik dengan intervensi politik.
Inti legislasi terdiri atas dua golongan
besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap
sosiologis berlangsung proses-proses untuk menantang suatu gagasan, isu, dan
/atau masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis.
Legislasi tidak sekedar suatu kegiatan
dalam merumuskan norma-norma ke dalam teks-teks hukum yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang memiliki kewenangan dalam perumusan tersebut, namun
jangkauannya melintas hingga pergaulan dan interaksi kekuatan sosial politik
yang melingkup dan berada di sekitarnya.
Plato mengatakan bahwa legislasi dan
pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di dunia ini untuk
mencapai kebaikan. Mengakaji legislasi dalam ranah ilmu perundang-undangan
haruslah menerima suatu kenyataan biarpun legislasi berpedoman pada hukum, pada
dasarnya merupakan pencerminan dan determinasi (hal menentukan, hal menetapkan,
hal memastikan, ketetapan hati) dari proses yang terjadi dalam kehidupan sosial
politik.
Fakta legislasi demikian dikarenakan
orang yang memiliki kewenangan untuk membentuk hukum tersebut merupakan lembaga
politik. Setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh interaksi politik tertentu tang
tengah berlangsung di Negara dimana legislasi tersebut dilangsungkan
berdasarkan asas keterbukaan. Semenjak otonomi daerah diimplementasikan.
Eksistensi perda sebagai salah satu sarana legal tas kebijakan daerah merupakan
salah satu isu sentral dan sering kali perda bertentangan dengan kepentingan
umum.
BAB
V
KESIMPULAN
Politik hukum sangat erat kaitannya
dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat.
Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka politik hukum sedungguhnya diejawantahkan
dalam nuasa kehidupan bersama pada masyarakat daerah.
Maka politik hukum didaerah harus
terwujud dalam seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi
kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat
di daerah.
Implikasi dari pembentukan perda yang
baik akan berdampak pada meningkatnkan infestasi di daerah-daerah. Proses
perencanaan yang baik akan menghasilkan perda yang baik pula. Dalam studi ilmu
dan teori perundang-undangan, terdapat empat syarat bagi peraturan
perundang-undngan (termasuk perda) yang baik, yaitu yuridis, sosiologis,
filosofis, dan teknik perencanaan peraturan perundang-undangan yang baik.
Adapun teknik perencangan peraturan
perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketetapan
pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketepatan bahasa, ketepatan dalam
pemakaian huruf dan tanda baca.
Selain keempat syarat tersebut,
pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memperhatikan
asas-asas formal dan material.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah
Anis Ibrahim, Legislasi
dan Demokrasi
Rachmad Syafa’at dkk,
Negara, masyarakat adat dan kearifan local
Tidak ada komentar:
Posting Komentar